Alfasalam

Alfasalam
ini dia guru kami.

Jumat, 05 Maret 2010

CINTA TERLARANG, cerpen

Mentari sudah tergantikan dengan sang bulan, alamat malam menyapa. Kerlipan bintang, bertabur bersama blitz rembulan, kian menambah kesyahduan malam. Semilir angin sepoi, menggelitik hingga menembus ke bilik hati. Namun sayang, meski malam yang begitu syahdu menawarkan diri kepada seorang Meri, justru ia merasa sepi dan sendiri dikegelisahan yang tak bertepi. Malam kian larut selarut hati Meri yang dirundung duka. Ahh,, mengapa ini semua harus terjadi, andai ada mesin pembalik waktu? Ingin kukembalikan semua rasa itu. Gila, aku jatuh cinta!!!. Hati Meri terus menceracau. Meri merasa begitu tersiksa dengan rasa itu, entah apa yang ada dibenak Meri. Tak jelas pada sebuah kesenangan, dan tak gusar pada sebuah kesengsaraan. Semua tidak memihak dan tidak setuju.
Waktu terus berjalan seiiring perjalanan masa, dan rasa itu tetap ada dihati Meri. Semakin kuat Meri menghilangkan rasa itu, justru semakin dalam yang dirasakannya. Ya Allah, mengapa ini terjadi? Hari itu Meri sedang ada acara di kampus, Workshop Sertifikasi Guru, dan Meri termasuk salah satu panitianya. Syukur Meri masih bisa membawa acara dengan maksimal, meski hatinya sedang amburadul. Sebagai seorang presenter, Meri dituntut untuk melupakan masalah ketika sedang membawa acara.
Meri mahasiswi yang pintar, penyiar radio yang funky, presenter yang handal, dan masih dengan segudang organisasi lainnya. Sangat jitu dalam beradaptasi. Dialah sosok yang sangat lihai dan profesional dalam membuat makalah, sehingga banyak order yang dia terima dari berbagai kalangan. Lumayan untuk uang saku. Namun sayang Meri yang malang hatinya kini sedang dipreteli dan dilucuti perlahan-lahan oleh seseorang, sungguh memalukan jatuh cinta kepada dia, alamak... gak pernah kebayang deh.
Meri tetap menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Tetap oke waktu menjalankan presentasi, tetap aktif dalam berargumen, handal dalam mengatur kata, dan tepat sasaran saat harus menghadapi curhatan teman-teman dekat yang ingin menitipkan sedikit air mata padanya. Ya, memang seorang Meri telah menjadikan dirinya tong sampah yang siap dijejeli apa saja. Asalkan itu bisa membuat semua orang yang menatapnya bahagia. Karena mungkin, dia juga pernah mendengar tutur seorang santri bahwa cinta itu tidak pernah meminta, tetapi memberi sepenuh hati. Ah, padahal hatinya sedang menangis. Ah, sungguh tersiksa rasanya dengan rasa ini. Dan ini benar-benar memalukan. Kemana Meri yang tegar seperti dulu. Meri sedang menunggu Bis ketika sebuah suara tia-tiba terdengar olehnya :
“ Hai Mer, nunggu Bis ya? Pulang bareng yuk! ” Sebuah suara merangkai.
Ya ampun...dia, anak itu lagi, oh TIDAK. Sudah cukup kamu bikin hatiku kacau balau.
“O… gak apa-apa, aku biasa pulang dengan Bis kok, terimakasih!”
“Ayolah, ngapain sih nolak-nolak gitu?”
Ya Tuhan. Ni anak benar-benar nggak punya hati sepertinya, apa belum puas dia buat hatiku amburadul. Pokoknya aku harus tegas.
“Aku kan sudah bilang gak mau, kok kamu maksa sih?”
“Nggak maksa sih, Cuma aku nawarin gitu. Tapi kalau nggak mau ya udahlah, duluan ya!”
Huh. Perkataannya makin manis aja, nambah-nambahin deh dia nyiksa hatiku.
Meri hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil, tanpa kata dan tanpa senyum. Kenapa pula aku harus satu organisasi dengan makhluk itu, ah sungguh menyakitkan rasanya. editing
Minggu 12 Januari 2010, BEM FKIP merancang sebuah acara piknik karena sudah sekian lama berkutat dengan berbagai agenda padat, ide yang datang dari divisi Humas itu, langsung saja disambut meriah oleh lainnya, dan bisa ditebak tanpa diminta,persetujuan secara musyawarah langsung datang. Meri sebenarnya tidak berminat untuk ikut piknik bersama ke Bate Iliek, ah itu semakin membahayakan posisiku, semakin sering aku berjumpa dengan dia semakin sulit aku menemggelamkan rasa itu, tidak, aku tak akan ikut. Meri tahu tidak ada artinya mencoba untuk menolak ide itu, karena gak mungkin ‘kan satu banding dua puluh empat,otomatis Meri kalah.
Akhirnya, Meri mencoba untuk mencari alasan jitu untuk bisa bolos dari acara piknik itu. Terang saja yang lainnya nggak terima, begitu Meri beralasan.
“I don’t agree.Nggak boleh, mana bisa sekretaris kagak ikut, nggak kompak, nggak seru dong!”
Ya ampun dia lagi, apa dia nggak bisa kunci mulutnya itu. Meri membatin.
Alasan yang dianggap logis itu, bagai dikomando disetujui tanpa negoisasi.
Namun, tetap saja pas hari H,Meri tidak ikut. Justru Meri menyibukkan diri di studio, kebetulan Kak Enji, nggak bisa hadir karena kurang sehat, jadi Meri bisa gantiin siaran, agak lucu juga Meri yang tidak terbiasa dengan Family’s Story, agak kikuk juga awalnya, karena Meri tidak terbiasa membawa acara itu. Syukur Meri cepat beradaptasi,jadi akhirnya menarik juga.
“Oke juga kamu walau belum Married, bisa kasih solusi yang paten buat mereka-mereka!” Bang Memed, sang operator berargumen.
“Ah, biasa saja, Cuma tahu dari buku-buku.”
“Tapi, it’s oke.”
Meri hanya mengangkat bahunya, sambil mengambil segelas air minum dan beristirahat. Meri lagi malas aja berkomentar, lagipula Meri merasa tidak ada yang luar biasa.
Keputusan Meri sudah bulat, Meri mengirimkan surat pengunduran diri kepada Gubernur BEM FKIP, dimana dia satu organisasi dengan makhluk itu. Pengunduran diri, yang dianggap tanpa alasan yang jelas itu, tentu saja menimbul tanda tanya besar dari semua anggota yang lain. Namun, Meri tetap bersikukuh untuk mengundurkan diri.
Sore itu, Meri benar-benar kelimpungan ketika melihat siapa yang datang menjenguknya, makhluk itu. Mau ngapain dia kesini, kok bisa tahu rumah aku?
“Hai……..” Sapanya ramah dan manis.
“I ask to Anna about you, she said you are sick. So, I go here.” Seperti mengerti dengan kebingungan Meri, dia menjelaskan tanpa harus Meri tanya. Dia membawa banyak oleh-oleh ada Salak, jeruk, majalah, apel,dannn nggak tahu lagi deh, ada apa-apa aja. Ah, kenapa makhluk ini bikin aku repot terus?.
“a… aku … mengkhawatirkan kamu!”. Lanjutnya lagi. Dan tatapan matanya itu yang bikin nggak tahan.
Ya Allah, kenapa makhluk ini yang Engkau kirim untuk mencuri hatiku?dan kenapa ada bunga-bunga dihatiku, ah,,TIDAK.aku tidak bisa berlama dengan rasa ini.
“Aku Cuma, kecapean aja kok, bukan sakit parah. Kamu tak perlu repot begini seharusnya.” Meri mencoba merangkai kata, walau dia tahu kedengaran kaku sekali.
“Nggak merasa repot, kok.”. dia justru mematahkan argumen Meri.
Dirumah hanya ada Meri dan kakaknya, selain dari makhluk itu tentunya. Dan Meri masih harus terbaring ditempat tidur. Pieter, nama makhluk itu. Dia mengupas jeruk yang dibawanya tadi, dan sungguh Meri nggak nyangka, dia jusru kasih untuk dirinya, seiris demi seiris, satu demi satu masuk kemulut Meri, tapi pada giliran ketiga Meri merasa risih juga dimanjain segitunya.
“Ya udah deh, sini aja semuanya, aku bisa sendiri!” Meri meminta sisa jeruk ditangan Pieter, soalnya disuapin satu persatu, risih lah yau.
“But, you’re sick. It’s no sense!” Dia menolak.
Dasar gila, no sense dihatimu tahu? Kamu makin buat aku susah menenggelamkan rasa itu, dasar makhluk kunyuk. Meri benar-benar berang dibuatnya.
“Ya udah deh, kalau gitu aku kenyang sekarang, jadi kagak usah suapin lagi, oke?”
Nampak wajahnya kebingungan dan seperti merasa bersalah dengan perkataan Meri, dia nggak ngerti kali.
“I’m sorry…. If I’m false…….. But I want make you happy.” Dia berkata dengan wajah bersalah dan terbata-bata.
Ya ampun… kenapa justru jadi begini. Yah malah jadi makin runyam deh.
“No…no I don’t thinking that. Tapiiii jangan suapin aku lagi ya?”
“Oh, why? I like do that, and it’s no problem.”
Ya Tuhan ni anak masih kenapa. Dasar kunyuk, kenapa sih dia bikin perut jadi mules.
“Pokoknya aku nggak mau. You hear me, please!!!”
“Yaeh…. Mau gimana lagi, ”
Dia berkata dengan wajah pasrah, dan tidak mengerti kenapa Meri tidak mengizinkannya. Ada urat kecewa dimatanya. Apa aku udah menyakiti hatinya? Ah, peduli amat, hatiku sendiri udah kayak kapal pecah. Ini benar-benar gila, kenapa aku jatuh cinta kepada makhluk kunyuk itu?
Dan kemudian, Pieter banyak bercerita tentang pengalaman-pengalamannya yang lucu bahkan konyol, seakan dia sengaja untuk membuat Meri tersenyum, Meri merasakan dia menatapnya begitu dalam dan senang ketika Meri benar-benar bisa tersenyum dengan ceritanya. Hampir tiga jam dia dirumah Meri, setelah Pieter pulang, Meri merasa dirinya sudah setengah sembuh. Ya ampun, ini benar-benar gila, kenapa ini bisa terjadi. Kenapa aku merasa begini. Meri kian tidak mengerti dengan hatinya.
Tiga hari kemudian, Meri sudah kembali kuliah seperti biasanya, namun Dokter masih menyarankannya untuk tidak sibuk dengan aktivitas dulu. Dan Meri benar-benar pias ketika didepan pintu gerbang.
“Hi… I’m wait you….”
Pieter sudah berdiri didepan pintu gerbang, dengan wajah senyum dan muka manis. Beberapa mahasiswa usil, mulai bersuit-suit.
Berhentilah menjadi makhluk super perhatian kunyuk gila. Kamu benar-benar menyusahkan hatiku untuk menenggelamkan rasa itu. Ini benar-benar gila, aku jatuh cinta kepada makhluk kunyuk itu, ah berat sekali yang kurasa.
“Why?”
Meri bertanya sambil terus berjalan memasuki kampus dan tentu saja kunyuk itu mengikuti Meri. Ah, ni anak bikin malu aku aja, Meri membatin.
“I miss you, so much”. Jawabnya pelan dengan suara berat.
Hampir pecah isi kepala Meri mendengarnya, jangan-jangan dia juga mencintaiku? Ah nggak mungkin, udahlah jangan berfantasi yang aneh-aneh.
Pagi itu, kampus masih sepi.
“Kita ke PC yuk!”. PC adalah singkatan dari Pohon Cinta, nggak tahu kenapa namanya begitu.
“Aku sibuk, maaf nggak bisa!”. Meri menolak ajakan Pieter, dia nggak mau untuk terlalu dekat dengan dia lagi.
“Sebentar saja, ada yang harus aku cerita padamu, Meri…please….” Dia berkata dengan sorot mata penuh harap.
“Maaf,aku benar-benar nggak bisa.” Meri berkata tegas, dan sambil terus berlalu. Sungguh aku tidak mau larut dengan rasa ini, dan aku tidak mau terus-terus dekat dengan dia. Ya Allah, aku takut tak cukup tegar untuk menenggelamkan rasa itu. Meri membatin, sambil terus berlalu meninggalkan Pieter.
“Meri, wait me, pleaseeeee…………….”
Tidak dipedulikan lagi panggilan Pieter. Meri terus melangkah dan semakin cepat. Maafkan aku,…
Dan setelah kejadian tersebut, Meri semakin berusaha menjauh dari Pieter, walau sejujurnya hal tersebut membuat hatinya pedih dan seperti teriris, tapi Meri yakin harus tegar dan harus kuat.
Sekarang justru Pieter hampir selalu menelpon Meri, dan Meri sudah bertekad bulat untuk menjauh dari makhluk yang bernama Pieter itu. Meri menonaktifkan handphonenya hampir satu minggu,pokoknya Meri menutup semua celah.
Ini pagi pertama Meri mengaktifkan Hpnya setelah sekian lama menonaktifkannya, sekian banyak sms dari Pieter masuk. Isinya berkisar, kenapa Meri matiin HP, apa sakit, dan sebagainya. Ah, kenapa dia tidak berhenti membuat hatiku ketar ketir.
Baru beberapa menit satu nomor baru menelpon Meri, Meri coba angkat mungkin itu siapa.
“Hallo…ini siapa?”
“Susah sekali menghubungimu Meri, kenapa? Apa kamu marah kepadaku?”
Ya Allah, Pieter. Makhluk itu.
“Oh…maaf, aku sedang mempersiapkan artikel untuk Buletin, Kak Enji pun sering sakit aku harus gantiin dia siaran, kuliah pun sedang musin mitem. Jadi maaf banget ya?”
Terdengar dia mendesah panjang, seperti ada beban berat yang dipikulnya.
“Begitu ya? Kamu sibuk sekali sepertinya.”
“Ya begitulah….”. Padahal dihati Meri, nggak sibuk-sibuk amat sih, tapi sibuk menata hati sih iya.
“Meri, besok aku akan kembali ke Inggris, tapi ada hal sangat penting yang harus aku katakan padamu. Aku tunggu kamu nanti jam tiga sore ditaman dekat kampus.”
Klik. HP langsung dimatikan oleh Pieter, tanpa mendengar jawaban Meri terlebih dahulu, seakan mungkin dia tahu kalau Meri akan menolak ajakan tersebut. Apa katanya tadi, besok dia kembali ke Inggris, ah kenapa tulangku terasa lemas dan begitu dingin, apakah sebenarnya aku justru takut jauh darinya. Haruskah aku menemuinya nanti sore? Hal apakah yang hendak diceritakannya?
Setelah berpikir seribu satu kali, akhirnya Meri memutuskan untuk menemuinya, Meri penasaran dengan hal yang akan diceritakan Pieter. Dan Meri yakin tidak perlu begitu khawatir akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan karena Taman dekat kampus merupakan tempat yang ramai dikunjungi orang.
Begitu memasuki area taman, Meri dengan mudah mendapati Pieter disebuah bangku panjang. Pieter kelihatan begitu kusut, apa dia sakit? Entahlah. Dia tersenyum sumringah begitu melihat Meri.
“Ah, untunglah kamu datang, kupikir sudah tidak ada harapan lagi. Mari duduk ! ”.
Ini kali pertama Meri duduk disamping Pieter, tidak terlalu dekat, namun lumayan tidak begitu jauh.
“Jadi, hal apa yang ingin kamu katakan?” Meri bertanya to the point.
Pieter menatap Meri, tatapannya begitu dalam, terpaksa Meri harus menunduk. Dan menahan gemuruh didadanya.
“I…I know about your feel…….”. Pieter berkata dengan nada berat dan terbata.
Hah, dia tahu perasaanku? Perasaan yang mana, asal jangan yang itu deh.
Pieter melanjutkan perkataannya,
“I know….you love me….a..aku turut prihatin…”
Alamak……….dia tahu perasaanku itu.Rasanya aku ingin menghilang saat itu juga.Sekiranya bumi terbelah waktu itu, aku lebih memilih untuk ikut tenggelam, dasar Meri bodoh, sungguh memalukan dikasihani laki-laki.
Muka Meri merah padam, Meri benar-benar malu. Sedikit pun Meri tidak berani mengangkat wajahnya. Tak sepatah kata keluar dari mulut Meri. Hanya mulutnya yang membulat membentuk huruf O. Meri mencoba untuk beranjak, karena dia tak tahan ingin menangis karena saking malunya. Namun Pieter lebih cekatan, dia mencekal lengan Meri.
“Jangan pergi,,, aku mohon….” Pieter menahan Meri pergi.
“Meri… as You know,…I… love you, too….”
Apa? Ini sungguh gila. Dia punya perasaan yang sama denganku. Tanpa dikomando, airmata Meri bergulir, tak tertahankan.
“Tapi…ti… tidak ada harapan untuk kita…”. Meri berkata dengan mata berkaca-kaca. Dan Meri melihat, mata Pieter pun mulai memerah.
“But,I love you, so much. Maafkan aku, seharusnya dari dulu kumusnahkah rasa itu, karena aku non muslim, maka tidak ada harapan, betulkah?”. Meri mendesah panjang, tak ada kata-kata yang sanggup keluar dari mulutnya, hanya anggukan kecil diikuti kristal bening yang terus bergulir.
“Percayalah…aku pasti akan kembali dengan persamaan…”. Pieter berkata sambil menghapus airmata Meri. Meri tertegun.
“Are you right?” Meri meyakinkan.
“Certainly…honey”. Pieter menjawab tegas dan tidak ada tanda-tanda kebohongan dimata birunya.
©©©
TAMAT
By : Istiqamah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar